I. Optimisme-Pesimisme Jagat Seni
Segumpal kegundahan yang dilontarkan
oleh seorang gadis belia dalam sebuah lomba pidato berbahasa Bali di
arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 yang baru lalu membuat penonton
tertegun. Dalam pidatonya yang berjudul “Ngewangun Karakter Wangsa
Melarapan Pesta Kesenian Bali”, dara belia duta Kabupaten Gianyar itu
dengan intonasi galau mengungkapkan tergerusnya seni tradisi oleh
hegemoni globalisasi. “Indayang cingak, aduh dewa ratu, akehan
mangkin kula wargane sane ngengebin selebriti ring tivi-ne. Jegegne Dewi
Sita miwah Dewi Subadra sampun kalah baan I Luna Maya miwah Cut Tari.
Bagusne Sang Arjuna taler doh kasub antuk Ariel Peterpan. Wayang kulit,
sane dumun dados balih-balihan sane akeh micayang piteket lan suluh
agama, mangkin sayan-sayan rered kakutang penonton. Sekulerisasi lan
komersialsisasi ngancan ngicalang taksu seni budaya druwene. Riantukan punika, ngiring mangkin lestariang lan limbakang seni budaya sami, angge ngewangun karakter wangsane“.
Seni tradisi, karakter
bangsa, dan globalisasi adalah ide, konsep, fenomena yang akan
dipertautkan dalam paper kecil ini. Ketiganya dipertautkan untuk
mengartikulasikan tentang peranan dan pentingnya seni tradisi sebagai
alternatif pondasi karakter bangsa ketika kini berhadapan dengan
keniscayaan gelombang globalisasi. Ada beberapa argumentasi, kenapa seni
dipandang berkontribusi penting membangun karakter bangsa dan kenapa
seni diketengahkan sebagai benteng jati diri bangsa di tengah era
globalisasi ini. Sebab, seni adalah gudang penyimpanan makna-makna
kebudayaan. Budaya dan seni tradisi merupakan bagian integral dari
kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat. Tradisi merupakan akar
perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau
keperibadian suatu bangsa … seni tradisi menyediakan bahan baku yang
melimpah. Di Bali dan di Indonesia pada umumnya para seniman tidak
membiarkan kesenian tradisi menjadi beku, dan untuk itu setiap generasi
terus berusaha untuk melakukan inovasi terhadap kesenian tradisi milik
mereka.
Sebagai bagian dari kebudayaan,
kesenian adalah salah satu perlengkapan manusia dalam memenuhi
kehidupannnya. Adalah kehidupan akan menjadi gersang tanpa
kehadiran kesenian. Akan tetapi arti seni bagi nilai kehidupan
tentulah lebih multidimensional. Sepanjang sejarahnya seni memang
mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Jika kebudayaan dirumuskan sebagai
gejala apa yang dipikirkan, menurut Mochtar Lubis, maka seni merupakan
unsur yang amat penting yang memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur
keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni,
proporsi dan sublimasi pengalaman manusia, pada kebudayaan. Tanpa
nilai-nilai maka manusia akan jatuh menjadi binatang ekonomi atau
kekuasaan belaka.
Seni sebagai gudang penyimpan
makna-makna kebudayaan berarti di dalamnya mengkristalisasikan
pencapaian peradaban manusia pelaku utama kebudayaan itu yang
terimplementasi dalam karakter bangsanya. Karakter bangsa dalam
antropologi dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang
mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan
ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai
kepribadian masyarakat tersebut. Karakter bangsa adalah kualitas jati
diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Karakter bangsa
Indonesia bersumber pada nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki Karena
itu, dalam konteks kehidupan kekinian, karakter sebuah bangsa dapat
dieksplorasi dari nilai-nilai seni kebudayaannya. Konstruksi karakter
bangsa itu kini kita sadari sebagai sebuah pondasi signifikan dalam
kehidupan berbangsa di era kesejagatan ini. Carut-marutnya kehidupan
berbangsa ditengarai disebabkan kelalaian membangun karakater bangsa.
Soekarno dan Ki Hajar Dewantara telah jauh-jauh hari mengingatkan bangsa
Indonesia tentang pentingnya karakter bangsa Urgensi perlunya
pembangunan karakter bangsa itu, salah satunya dapat digali dan ditimba
dari jagat seni. Seni tradisi sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal
yang berkarakter.
Globalisasi mempengaruhi hampir
semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk kesenian yang merupakan
subsistem dari kebudayaan. Meneropong jagat seni dalam konteks
globalisasi dewasa ini menghadapkan kita pada berbagai panorama masa
depan yang menjanjikan berbagai optimisme, akan tetapi sekaligus
pesimisme. Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Indonesia
pun kiranya sulit melepaskan diri dari arus transformasi budaya.
Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang membawa
dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini,
termasuk pada ekspresi artistik.
Bagaimana dunia seni, seni
tradisi khususnya sebagai representasi karakater bangsa
mengaktualisasikan diri di tengah hegemoni globalisasi tersebut yang
akan didiskusikan dalam kesempatan ini. Pertama, dilema kultural seni
tradisi di tengah tranformasi budaya yang dibawa gelombang globalisasi.
Kedua, rekonstruksi dan dekonstruksi seni tradisi sebagai proses
kreativitas seni membangun karakter bangsa. Kedua masalah tersebut,
bahasannya akan mengacu pada suasana berkesenian, seni pertunjukan, di
Bali.
II. Dilema Kultural Seni Tradisi
Seni tradisi yang pada hakikatnya
merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi
media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di
Bali, hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, selain berfungsi
sebagai persembahan, juga berkontribusi penting mencerahkan karakter
masyarakatnya. Saat menonton teater Topeng atau dramatari Gambuh di
pura, penonton memperoleh spirit keagamaan dan siraman rohani. Ketika
menonton Arja atau Drama Gong di Bale Banjar, masyarakat penonton
menyerap nilai-nilai moral dan sosial yang berguna. Lebih-lebih bila
menyimak pementasan Wayang Kulit, penonton akan dihidangkan ensiklopedi
kehidupan yang semuanya patut dijadikan pegangan diri.
Tetapi, masyarakat modern
masa kini telah kehilangan orientasi hidup, terombang-ambing oleh
centang perenang kusutnya zaman. Pergeseran budaya dan nilai-nilai
mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita. Guncangan budaya itu
juga berimbas pada keberadaan lokal jenius yang terurai dalam ekspresi
seni tradisi bangsa. Wayang Kulit yang dulu sangat karismatik di tengah
masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, kini terpojok lunglai.
Di tengah masyarakat Bali tempo dulu, wayang merupakan tontonan favorit
yang begitu deras mengisi alam pikiran dan dunia nyata masyarakatnya.
Pesan-pesan ceritanya diresapi cermat dan tokoh-tokoh idolanya dijadikan
teladan serta identifikasi diri. Namun kini, pendidikan karakter yang
diberikan oleh teater wayang dan seni tradisi kita itu telah rapuh dan
mandul. Seni tradisi kita tergilas laju era kekinian.
Tak kenal tak sayang.
Kira-kira seperti itulah nestapa sebagian seni tradisi Bali di tengah
masyarakat masa kini. Karena semakin tak dipedulikan, tidak sedikit
kemudian bentuk-bentuk kesenian itu teronggok di pojok, hidup payah
matipun pasrah. Komunitas pendukungnya pun tak lagi memiliki ikatan
batin dengan nilai keindahan yang mungkin dulu pernah disanjung-sanjung
dan dibanggakan. Kini, bentuk-bentuk kesenian yang telah mengisi
dinamika kehidupan masyarakat tersebut kian marginal dan langka.
Pencapaian estetik yang pernah diraihnya tergerus tak terurus.
Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis.
Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah
kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan
generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah
gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik, sungguh
membuat butir-butir budaya itu tergelincir.
Harapan untuk
menyelamatkannya kembali memang belum sirna. Pesta Kesenian Bali (PKB)
masih gigih menghadirkan kesenian tradisi, termasuk yang dikatagorikan
tua dan langka. Bagi masyarakat umum, mungkin bentuk-bentuk kesenian
langka tersebut terdengar asing, lebih-lebih di kalangan generasi muda
masa kini. Gamelan Gambang misalnya yang dentang bilah-bilah bambunya
kian sayup di tengah euforia ritual keagamaan, tak begitu banyak
dikenali masyarakat karena ensambel tua itu sendiri memang hampir punah.
Begitu pula mata air seni pertunjukan Bali, Gambuh, mungkin hanya
dikenal oleh komunitas yang terbatas. Demikian pula halnya dengan Wayang
Gambuh, lebih-lebih pernah menonton, bagi masyarakat masa kini, mungkin
mendengar namanya pun agaknya baru kali ini.
Sekaratul maut memang sedang mengintai
bahkan telah merenggut sebagian nilai-nilai tradisi, tersemasuk warisan
kesenian tradisional Bali. Dialektika budaya global dan lokal sekarang
ini cenderung menggiring masyarakat hanyut mengorbankan jati dirinya
terdistorsi oleh dinamika budaya semu yang sedang menghegemoni.
Seni-seni tradisi yang merupakan bagian integral dengan
sosio-kultural-religius masyarakat, kini berona gamang, sebagian
tertidur lelap.
Dis-apresiasi bukan hanya mendera
kesenian yang telah tua dan kuyu, bahkan seni-seni tradisi primadona di
tahun 1970-an pun telah semakin tak mendapat perhatian. Arja dan Drama
Gong misalnya, telah kehilangan pamor. Pementasannya kian sulit dicari.
Arena panggung pertunjukan di bale banjar pun semakin lengang
dari pentas kedua teater itu. Ekspresi seni tradisi pada umumnya tampak
kikuk berinteraksi dengan dinamika zaman. Masyarakat kekinian dimanjakan
oleh beragam pilihan seni dan hiburan modern, salah satunya lewat
presentasi televisi.
Komunalitas yang menjadi identitas
masyarakat Bali dalam menghayati kehidupan lewat teks yang disajikan
oleh kesenian tradisionalnya, ke depan, jika tak segera dibenahi,
agaknya akan merenggang. Muatan nilai-nilai keindahan yang disuguhkan
seni tradisi tak akan mampu lagi menularkan kebeningan nurani.
Pesan-pesan moral yang diungkapkan seni tradisi tak kuasa lagi
menerbitkan fajar budi masyarakat. Keberadaaan seni tradisi hanya
dipandang sebagai seonggok hidangan basi. Seni tradisi hanya
sekali-sekali dilirik sebagai ekspresi budaya yang kusut masai.
Penyelamatan dan aktualisasi terhadap
bentuk-bentuk seni tradisi sudah sepatutnya diapresiasi. Sebab dalam
seni tradisi tidak hanya merupakan kristalisasi estetik suatu rentangan
zaman namun juga sarat dengan makna kultural. Kini, ditengah laju
trasformasi budaya, keberadaan seni tradisi sebagai formulasi artistik
kian redup dan sebagai pencatat makna budaya kurang dipedulikan.
Perubahan budaya sebagai imbas dinamika kehidupan, berkontribusi besar
pada cara pandang, pola berpikir, sikap hidup masyarakat, termasuk pada
sikap masyarakat Bali masa kini dalam berinteraksi dengan keseniannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar